Pembebasan perempuan adalah salah satu aspek terpenting dari transformasi sosial dan budaya diseluruh dunia. Perempuan secara bertahap bergerak untuk menempati lebih banyak ruang di arena publik. Akan tetapi, di Afrika, sejarah dan dinamika pergerakan emansipasi perempuan saat ini tidak diketahui dan seringkali tidak terdokumentasikan dengan baik diluar agenda perempuan yang terkait dengan partai politik, gerakan pembebasan, atau LSM yang menerima dana dari Utara (Negara-negara maju)
Selama bertahun tahun , perempuan Afrika telah menembus berbagai lapisan keterasingan dan penindasan , bertahan dalam perbudakan, kolonialisme, patriarki dan viktimisasi Negara pasca kolonial. Selanjutnya diperparah oleh siklus konflik bersenjata dan perang sipil yang memaksa perempuan untuk berperan sebagai pejuang, bertahan hidup, dan menjadi korban. Keterlibatan perempuan dalam rekonsiliasi dan perdamaian antar-komunitas dikesampingkan dan ditangani secara dangkal dalam proses politik.
Selama 40 tahun terakhir, perempuan terutama perempuan miskin yang merupakan mayoritas populasi benua Afrika telah berjuang melawan dampak privatisasi dan ekonomi pasar yang terbuka yang pada gilirannya mempengaruhi buruh perempuan, guru, bidan, tabib, petani, dan pengembala ternak. Mereka semua kehilangan pekerjaan, dan mereka berpeluang untuk maju dan terlibat dalam gerakan feminis independen secara kolektif.
Sebagai contoh, di Sudan dan Sudan Selatan, pekerjaan kebidanan, keperawatan, dan mengajar, sebagian besar diisi oleh perempuan yang dahulumemiliki serikat pekerja yang kuat selama tahun 1960-an dan 1970-an. Serikat-serikat ini berfungsi sebagai inkubator bagi gerakan feminis, dimana pekerja-pekerja perempuan yang mempunyai akses ke wacana perjuangan hak-hak perempuan dan aksi-aksi kolektif mengambil inisiatif untuk menyebarkan pesan pembebasan perempuan dan berusaha memimpin dengan memberi contoh.
Namun pekerjaan-pekerjaan seperti itu dan serikat pekerjanya telah benar-benar runtuh, dengan generasi perempuan menjadi pengangguran dan dipaksa untuk menyerah pada realitas sosial dan ekonomi yang kelam.
Pada 1980-an dan 1990-an, runtuhnya serikat pekerja dan privatisasi menyebabkan polarisasi dan konflik bersenjata di seluruh wilayah hingga memperburuk masalah yang dihadapi oleh perempuan rentan.
Mereka yang dipaksa untuk menyesuaikan diri - umumnya dengan berimigrasi ke pusat-pusat kota dan melintasi perbatasan untuk mencari pekerjaan alternative - terpaksa menerima segala bentuk mata pencaharian yang tersedia bagi mereka seperti bekerja di warung-warung kecil, pekerja rumah tangga, berdagang kecil-kecilan dan pekerjaan-pekerjan lainnya yang berupah rendah.
Selanjutnya, gerakan perempuan kehilangan kekuatan kolektifnya. Perempuan kehilangan solidaritas mereka, kehilangan hubungan mereka satu sama lain, dan yang paling signifikan dan sangat menyedihkan yaitu kapasitas mereka untuk terlibat secara kolektif dalam politik telah dicopot, dikesampingkan dan dipolarisasi.
Ruang sipil di wilayah Horn of Africa (Tanduk Afrika) sekarang sepenuhnya ditempati oleh LSM. “Selama 40 tahun terakhir, kita telah hidup dimasa yang saya anggap sebagai LSM-isasi ruang sipil”, dimana bahasa dan retorika kesetaraan gender sebagian besar dihasilkan oleh LSM internasional. Tantangan dari LSM-isasi adalah bahwa LSM didominasi oleh imajinasi, asumsi, dan minat lembaga-lembaga donor dari negara-negara maju dan para penggantinya.
Misalnya menentang Mutilasi Genital Perempuan (FGM) telah menjadi isu prioritas yang mendominasi pekerjaan tentang hak asasi perempuan diseluruh wilayah Horn of Africa (Tanduk Afrika) selama lebih dari 40 tahun, yang berarti bahwa untuk menjadi seorang aktivis yang memperjuangan hak-hak perempuan dan kesetaraan gender, seseorang wajib bekerja dan berbicara tentang FGM (sunat perempuan) hingga membangun sebuah pandangan yang terdistorsi tentang apa artinya menjadi seorang aktivis dan organisasi perjuangan hak-hak perempuan.
Ini telah terjadi terlepas dari kenyataan bahwa perempuan di wilayah ini memiliki sejarah panjang perjuangan politik dan sosial, yang bertahan hingga hari ini. Namun sebagian besar institusi di Belahan Utara memperkecil perjuangan hak-hak perempuan dan pelanggaran terhadap perempuan menjadi perjuangan satu dimensi melawan FGM.
Tanpa diragukan lagi, sunat perempuan adalah pelanggaran terhadap hak-hak perempuan dan anak perempuan, tetapi ini adalah gejala dari budaya yang mengakar dalam upaya merongrong dan mensubordinasi perempuan dengan mengendalikan tubuh mereka, budaya yang telah dipelihara dan diberi makan oleh rezim politik ultra konservatif.
Tidak Ada Yang Mau Sakit Kepala karena Politik
Akibatnya, sebagian besar ruang organisasi perempuan berubah menjadi pasif dimana orang tidak “melakukan” aktifitas politik. Pekerjaan tentang hak-hak perempuan menjadi lebih terfokus pada hubungan masyarakat dan para aktivisnya diduga menjadi elite yang bersaing memperebutkan sumber daya dan hak istimewa.
Dalam konteks ini, retorika pengarusutamaan gender hanya menjadi formalitas belaka sambil mengecilkan akar penyebab subordinasi perempuan dan mengabaikan politik dibalik subordinasi itu. Beberapa aktivis yang menyadari hal ini, malah menjadi terasing, pembawa berita buruk dan sering dicap sebagai orang yang terlalu rumit dan terlalu politis.
Depolitisasi gerakan perempuan ini sangat berbahaya bagi masa depan perempuan Afrika. Ini telah mempengaruhi generasi perempuan muda di bagian dunia kita, menyebabkan mereka hanya bercita-cita untuk bekerja di LSM yang terkait hak-hak perempuan untuk mengklaim hak-hak sosial dan ekonomi daripada membuat perubahan yang berarti.
Di Negara-negara dimana mayoritas berjuang untuk bisa mengakses kebutuhan dasar manusia, elite LSM lokal menggunakan posisi mereka untuk mendapatkan hak istimewa sambil menghindari kerumitan karena politik. Tetapi pembicaraan tentang hak-hak perempuan dan membangun agenda perempuan tidak dapat dicapai tanpa gerakan politik.
#MeToo Di Africa
Gerakan #MeToo di Afrika sangat penting dalam mengungkap hubungan kekuasaan yang mapan yang telah mensubordinasi perempuan. Namun, bahkan dalam konteks Dunia Utara, gerakan seperti #MeToo dapat dengan mudah dipatahkan dan dimanipulasi oleh sistem patriarki yang kuat jika tidak didefinisikan dengan jelas dan terstruktur terkait melawan pola-pola hubungan kekuasaan yang dirancang untuk melemahkan perempuan dan orang-orang yang terpinggirkan. #MeToo akhirnya dikooptasi dibawah tren global saat ini yaitu paham konservatif dan polarisasi sosial ekonomi yang sedang tumbuh.
Inilah sebabnya, sebagai perempuan Afrika, kita perlu menahan diri agar tidak mengikuti secara membabi-buta dinamika dan retorika Utara menyangkut agenda hak-hak perempuan, dan berpikir dengan sangat hati-hati tentang gerakan #MeToo kita sendiri. #MeToo Afrika harus berdasarkan pengetahuan dan realitas kompleks dari pengalaman kita sendiri.
Perempuan telah lantang bersuara di Afrika sejak lama, tetapi dalam ruang hampa. Lembaga peradilan kami masih tertinggal dalam hak asasi manusia dan keadilan yang pada dasarnya semuanya bersifat patriarki. Karena itu, penting bagi aktivis pejuang hak-hak perempuan untuk mengedepankan pemahaman politik mereka sambil mengejar kesetaraan dan keadilan.
Kita hidup dalam masyarakat dimana kekerasan dilegitimasi dan diintegrasikan secara mendalam ke dalam hukum dan norma budaya kita. Poligami merajalela dan sebagian besar Negara kita tidak memiliki hukum yang mengatur status individual dengan memperhatikan hak-hak dan kemanusiaan perempuan. Kekerasan seksual tetap menjadi sebuah karakteristik khusus dalam realitas hidup perempuan. Akhir-akhir ini, gelombang fundamentalisme islam dan kristen menyebar dan menemukan lahan yang subur untuk melembagakan misogini di masyarakat kita.
Pertanyaannya adalah: Sejauh mana modalitas intervensi yang saat ini diprioritaskan oleh pemerintah Utara dan para penggantinya berkontribusi pada gerakan perempuan di Wilayah Tanduk Afrika dan ditempat lain di Benua ini?
Resiko jika Membabi Buta Mengikuti Dinamika Dan Retorika Utara
Tidak ada keraguan bahwa dukungan internasional telah memainkan peran penting hingga memungkinkan berlanjutnya keberadaan wacana hak-hak perempuan di Afrika. Namun demikian, dukungan Utara sebagian besar telah mengontrol agenda hak-hak perempuan dan kesetaraan gender bersama dengan kontrol terhadap imajinasi kita, yang pada akhirnya mengurangi kapasitas kita sebagai aktivis untuk berbicara.
Lebih penting lagi, lembaga donor internasional telah diizinkan untuk memutuskan apa yang menjadi ukuran dari keberhasilan dan kegagalan aktivisme, dan siapa yang dapat diakui sebagai aktivis yang legitimate
Dengan demikian, banyak kelompok tanpa setetespun semangat aktivis dalam darah mereka, yang pendiriannya benar-benar bertentangan dengan kebutuhan ideologis dan esensi feminisme dan hak-hak perempuan, bisa dipromosikan secara sembarangan karena mereka mematuhi secara ketat aturan main yang dibuat oleh lembaga donor.
Disisi lain, aktivis yang berjuang dengan agendanya sendiri harus tetap diluar jangkauan dan sering dicap sebagai “terlalu politis”.
Selain itu, sebagian besar modalitas dukungan Utara ke Selatan saat ini dijadikan barang dagangan. Pekerjaan untuk perubahan sosial dan kesetaraan gender secara bertahap diubah menjadi komoditas dengan klaim mengatasi korupsi dan mengambil kendali atas sumber daya dan pembiayaannya. Dalam 20 tahun terakhir USAID (Lembaga Bantuan Pembangunan Internasional Amerika) dan pemerintah Inggris telah menyalurkan sebagian besar sumber daya mereka ke negara-negara berkembang melalui perusahaan swasta.
Perusahaan-perusahaan sub-kontrak semacam ini yang bertindak semata-mata berdasarkan perhitungan keuangan ditugaskan untuk terlibat dalam isu-isu yang sangat kompleks, termasuk perdamaian dan rekonsiliasi, kekerasan seksual, anti teror dan lainnya. Entitas-entitas ini bukan saja tidak memiliki keahlian dan pengetahuan tetapi juga tidak mempunyai minat dan empati yang tulus yang akan membuat mereka memenuhi syarat untuk berperan dalam masyarakat lokal.
Saat ini, keterlibatan antara Utara dan Selatan untuk mendukung hak-hak perempuan tidak didasarkan pada solidaritas sebagaimana seharusnya. Sebaliknya, retorika kesetaraan gender dan hak-hak perempuan digunakan oleh lembaga-lembaga Utara untuk memanfaatkan ide-ide ini. Konservatisme yang sekarang dominan dibanyak lembaga ini mendorong depolitisasi gerakan perempuan, karena ia tidak memiliki kepentingan nyata dalam gerakan perempuan Afrika yang sedang berkembang dan transformasi sosial.
Ini tidak dapat mengarah pada perubahan yang kita butuhkan. Kita tidak bisa berbicara tentang perubahan dan pembangunan gearakan dibawah persyaratan keterlibatan semacam ini. Kecuali jika reformasi yang mendasar betul-betul terjadi, hak asasi manusia, hak-hak perempuan dan pembangunan sosial diambil alih dari institusi-institusi perdagangan.
Gerakan perempuan adalah gerakan politik. Ini tentang relasi kuasa, posisi dan tujuan politik dan keterlibatan dalam politik haruslah melampaui sekedar politik representasi, melainkan sebagai pemilih sadar yang memiliki tujuan dan alat yang jelas untuk perlawanan dan didedikasikan untuk nilai-nilai solidaritas.
Aktivis perempuan dan feminis di seluruh dunia harus selalu ingat bahwa keterlibatan kita dalam perjuangan hak-hak perempuan didasarkan pada apa yang telah kita derita dan terus kita derita. Sebagai feminis dan aktivis Afrika untuk perjuangan hak dan kesetaraan perempuan, janganlah kita lupa bahwa beban perjuangan adalah milik kita dan kemenanganpun milik kita.
Pandangan yang diungkapkan dalam artikel ini adalah milik penulis dan tidak mencerminkan pendirian editorial Al Jazeera.
Tentang penulis:
Hala Al-Karib adalah Direktur Regional dari Prakarsa Strategis untuk Perempuan di Wilayah Tanduk Afrika (SIHA)
Sumber : https://www.aljazeera.com/indepth/opinion/dangers-ngo-isation-women-rights-africa-181212102656547.html