Krisis Ekonomi: Bagaimana Kondisi Rakyat?

0

Oleh : Lintah Merah

Teori Marxism tentang Krisis Ekonomi [1]


Zaman klasik kapitalisme industri berakhir dengan Perang Dunia Pertama, tetapi ini masih merupakan periode yang dikutip oleh semua pembela kapitalisme ketika mereka mengacu pada kekuatan regeneratif dari “siklus bisnis” dan krisis periodik yang melahirkannya. Kita harus meninjau siklus klasik untuk melihat bagaimana perkembangan kapitalisme memaksanya untuk berubah.


Bagi Marx, krisis kapitalis adalah krisis “produksi berlebih”: terlalu banyak komoditas yang diproduksi daripada yang dapat dijual secara menguntungkan, dan terlalu banyak modal yang diinvestasikan dalam industri, dalam upaya untuk mengklaim bagian dari keuntungan yang tersedia. Hal ini terjadi karena kapitalisme, baik dalam skala domestik maupun internasional, merupakan sistem kepemilikan yang terpisah dan mandiri. Di masa makmur, setiap kapitalis berinvestasi sebanyak yang dia bisa dan meningkatkan produksi; khususnya, ledakan periodik merangsang produksi “kapital tetap”, gedung-gedung dan mesin-mesin yang tidak habis dipakai dalam satu siklus produksi dan karena itu tidak harus segera diganti. Ketika waktunya bagus, semua sumber daya dikerahkan untuk membawa kapital tetap baru ke dalam produksi; tetapi begitu kapital ini mulai berproduksi, banjir barang-dagangan dibawa ke pasar, dan krisis pun terjadi. Pengangguran, yang turun selama ledakan, meningkat lagi; tingkat keuntungan yang tinggi yang memicu ledakan menurun, pertama ketika tingkat pengangguran yang rendah memperkuat daya tawar pekerja, dan selanjutnya ketika krisis memaksa produksi untuk mengendur.

 

Krisis itu akhirnya memakan korban: massa pekerja terlempar dari pekerjaan mereka, sebagai akibatnya upah dipaksa turun kembali ke subsisten atau lebih rendah, dan pabrik-pabrik yang paling lemah, terkecil dan paling tidak modern pun bangkrut. Tetapi efek dari kemerosotan memungkinkan profitabilitas bangkit kembali: tenaga kerja dapat dipekerjakan dengan upah rendah, pabrik, peralatan, dan bahan dapat dibeli oleh kapitalis yang masih hidup dengan harga murah. Jadi kemerosotan diikuti oleh periode pemulihan baru dan pada gilirannya oleh ledakan baru.

Biasanya, selama periode ledakan, persaingan di antara para kapitalis merangsang teknik produksi baru yang memajukan tingkat produktivitas. Kekurangan sementara tenaga kerja selama boom, karena rendahnya tingkat pengangguran, merupakan faktor kunci dalam meyakinkan kapitalis untuk menemukan cara meningkatkan penggunaan mesin (“tenaga kerja mati”) sebanding dengan tenaga kerja hidup. Dengan demikian, periode boom dari siklus melakukan apa yang disebut Marx sebagai “konsentrasi” kapital: ekspansi dan kemajuan teknologinya – sebagaimana periode kemerosotan yang telah dijelaskan cenderung melakukan “sentralisasi” kapital, penyatuannya ke tangan-tangan yang lebih sedikit melalui pengambilalihan. dan merger.

 

“Produksi berlebih” sebagai analisis krisis sering diubah oleh ahli teori reformis menjadi “konsumsi rendah”, gagasan bahwa massa pekerja dibayar terlalu kecil untuk membeli kembali apa yang mereka produksi. Ini mengarah pada program membujuk manajer yang bijak dan kapitalis yang peduli untuk memajukan kepentingan pribadi mereka sendiri dengan membayar lebih banyak kepada pekerja; para pekerja kemudian akan dapat mengkonsumsi dan membeli lebih banyak, dan dengan demikian krisis akan dicegah atau dikurangi.

 

Ada masalah yang tidak terpecahkan dengan teori semacam itu. Pertama-tama, seperti yang ditunjukkan Marx, krisis muncul setelah upah buruh yang tinggi secara siklis, bukan rendah. Selain itu, banyak dari apa yang diproduksi dan diproduksi berlebihan di bawah kapitalisme adalah alat produksi (tenaga kerja, alat kerja dan sasaran kerja), bukan sekadar komoditas yang dimaksudkan untuk konsumsi kelas pekerja: bahkan pekerja dengan bayaran terbaik pun tidak membeli peralatan manufaktur. Ketiga, konsumsi rendah massa – dalam arti ketidakmampuan mereka untuk membeli berbagai komoditas yang dibutuhkan untuk standar hidup yang nyaman – adalah kehidupan konstan di bawah kapitalisme melalui boom dan bust. Jika konsumsi-kurang adalah penyebab krisis, maka krisis tidak akan bersifat siklus tetapi permanen.

Over Produksi menunjukkan kontradiksi yang diperlukan dari suatu sistem yang memiliki potensi untuk menghasilkan kelimpahan nyata, namun di bawahnya potensi itu menyebabkan kerusakan setiap kali ia menumpuk. Di zaman klasik kapitalisme industri, siklus tersebut mencerminkan peran sistem yang awalnya progresif. Perjuangan kelas memaksa kaum kapitalis untuk memajukan produktivitas, mengakumulasi lebih banyak alat produksi dan karenanya menghasilkan komoditas yang berguna dengan lebih murah. Untuk pertama kalinya dalam sejarah, kelangkaan – dengan segala kesengsaraan endemik, kelaparan, perang, dan penyakit sampar – tidak lagi menjadi bagian tak terhindarkan dari kehidupan manusia.


Analisa

Dijelaskan oleh marxist bahwa over produksi adalah cara kapitalisme untuk meraup keuntungan sebesar-besarnya.

Barang-barang yang diproduksi oleh China sangat banyak dan dapat diperoleh dengan harga yang murah. Produk ini sangat berkembang di Indonesia.
Hal ini mengancam keberadaan pabrik-pabrik milik negara-negara imperialis lainnya yang sedang menanamkan modalnya di Indonesia.

Kepentingan dari negara imperialis atau kapitalis global adalah menghasilkan keuntungan sebesar-besarnya, caranya adalah mengontrol alat produksi (tenaga kerja, sasaran kerja, dan alat kerja). Krisis diciptakan ketika kapitalis belum memperoleh keuntungan sebesar-besarnya, kapitalis cenderung menciptakan krisis untuk menekan pengeluaran untuk upah tenaga kerja. Sekian lama kapitalis mempelajari fenomena over produksi dan pemberontakan tenaga kerja, maka alternatif yang dibuat oleh kapitalis adalah memajukan alat kerja agar dapat menggantikan tenaga kerja. Alat kerja seperti yang hari ini kita tau adalah kemajuan teknologi. Teknologi dapat menggantikan tenaga kerja (manusia) sehingga secara terstruktur mudah mengontrol tenaga-tenaga kerja usia produktif dengan cara menciptakan pengangguran sebesar-besarnya. Tenaga kerja Indonesia yang tidak produktif (partisipasi dalam ilmu pengetahuan atau menciptakan alat kerja baru), sangat sulit untuk mandiri dalam mengembangkan alat produksi yang tidak dikontrol oleh kekuasaan kapitalis global.

Kebudayaan ketergantungan yang diciptakan oleh negara Indonesia terhadap negara kapitalis mempermudah kapitalis lebih berkuasa dalam mengontrol tenaga kerja.
Pengontrolan tenaga kerja melalui ranah kesehatan (asuransi BPJS), ranah Pendidikan (subsidi), Pajak pekerja, pajak Bumi dan Bangunan, pajak kendaraan dsb.

Hal ini diwajibkan bagi seluruh masyarakat, sedangkan dalam sistem pendidikan, masyarakat tidak mengetahui dengan jelas tujuan dari kontrol negara atas masyarakat.
Pengontrolan semakin masif, di era JOKOWI, dapat dilihat bagaimana BBM yang naik, pemotongan subsidi pendidikan, pemotongan subsidi kesehatan dsb. Hal ini membuktikan bagaimana Elit-elit Indonesia hanya menjadi kaki tangan kapitalis global.


Alat kontrol negara mencakup institusi agama, militer dan pengambil kebijakan. negara mengontrol kesadaran masyarakat agar tidak kritis dan berpikir untuk menyetujui apa yang dilakukan negara.

Masyarakat yang kritis akan diperhadapkan dengan militer dan hukum negara, masyarakat dilarang melawan.

Undang-undang adalah produk yang dapat dirasakan dari kontrol kapital atas negara.
Elit-elit Indonesia kemudian memanfaatkan elit-elit Papua untuk melancarkan program-programnya. Militer mengkonsolidasikan penerimaan anggota jalur OTSUS. Militer juga mengkonsolidasikan orang Papua dalam organisasi masyarakat (ormas) nasional untuk tujuan ekonomi, penagih utang.

Pengangguran juga menekan daya beli pasar, maka negara menyediakan pekerjaan dengan upah murah, sehingga sangat banyak masyarakat yang terjerat utang.
          Politik ini digunakan untuk memaksa masyarakat menjual sasaran kerja (tanah) kepada kapitalis lokal atau tenaga kerjanya.

 Praktik ini sangat nyata di Papua,  negara merampas tanah adat di Papua bukan hanya melalui operasi militer, namun melalui kebudayaan-kebudayaan baru yaitu kebudayaan daya beli (barang dan jasa).

Apalagi proyek digitalisasi semakin memperparah kondisi masyarakat di Papua.
          Tenaga kerja Indonesia yang tidak produktif mempengaruhi tenaga kerja Papua, karena negara Indonesia mengisolasi Papua melalui alat kontrolnya (hukum, agama dan militer).

bisa dibayangkan lambatnya perkembangan masyarakat Papua adalah dosa kemanusiaan penjajahan Indonesia.
          Sasaran kerja yang dijadikan lahan eksploitasi sumber daya alam, dikontrol oleh kapitalis global kemudian dikontrol oleh penjajah Indonesia. Hal ini terbukti melalui wajah negara yang dengan mudah menyingkirkan orang asli Papua, karena tenaga kerja orang asli Papua tidak sebanding dengan tenaga kerja Indonesia yang siap rajin bekerja untuk memberikan keuntungan lebih bagi pemodal.

 

Alat kerja dikontrol oleh pemodal dengan alasan, hak cipta (privatisasi ilmu pengetahuan). Alat kerja yang tidak bebas diketahui oleh tenaga kerja, membuat tenaga kerja Indonesia dan Papua menjadi konsumen. Ketergantungan ini berdampak pada ketidakmandirian tenaga kerja untuk menciptakan alat kerja baru, dan meningkatkan partisipasi tenaga kerja dalam alat produksi (pabrik/ perusahan).

Tenaga kerja Indonesia juga distigma malas dengan tujuan mempertahankan politik upah murah.

Anda bisa bayangkan bagaimana tenaga kerja Indonesia hanya mendapatkan ampas nasi dari tenaga kerjanya. Elit Indonesia juga memperoleh keuntungan sedikit dari hasil kerja tenaga kerja Indonesia.
Papua menjadi sangat terpuruk dari kondisi objektif ini.

Program negara MP3I, OMNIBUS MAN LAW, OTSUS Papua, UP4B, Proyek Kerja Nasional adalah tahapan untuk semakin melancarkan kepentingan kapitalis. Memperlancar perampasan lahan, eksploitasi manusia dan menjadikan manusia sebagai konsumen.

 

Kondisi Subjektif


Kondisi kesadaran nasionalisme yang tidak selesai di Indonesia, berdampak di Papua. Kesadaran nasionalisme berdasarkan ras akan menghambat perkembangan tenaga kerja di Papua. Kebutuhan untuk akses informasi dan ilmu pengetahuan yang luas sangat dibutuhkan. Kebutuhan organisasi revolusioner untuk meningkatkan produktivitas tenaga kerja menjadi tenaga produktif yang mampu memiliki kesadaran untuk partisipatif, kolektif dan demokratis.

Program negara melalui Omnibus Man law, dalam halaman pembukaannya menegaskan tentang “meningkatkan tenaga produktif di Indonesia”, menyasar kepentingan pengusaha. Kebebasan penguasa untuk mengontrol tenaga kerja.
Tenaga kerja diadu untuk memiliki skill tertentu dengan cara kompetisi/persaingan. Pengusaha juga berhak menentukan peraturan-peraturan perusahaan sendiri.

 

Bagaimana dengan Papua?

Kondisi masyarakat Papua yang dibenturkan dengan kepentingan imperialisme memiliki corak produksi sendiri. Beberapa kelompok suku mempertahankan sistem pertanian dan beberapa memiliki tanah namun beralih ke pekerjaan kantoran, ada pula yang mengerjakan keduanya.

Sub kelas dalam masyarakat seperti ini membentuk kesadaran politik, juga membentuk sikap politik dalam berjuang. Hal ini juga diperparah dengan isolasi ilmu pengetahuan yang kronis terjadi di Papua. Proyek - proyek reformis yang tidak memberikan penyadaran politik berdampak pada kegagalan membentuk basis massa.

 

Imperialis-imperialis dalam pertemuan G-20 tahun 2022 membentuk sebuah kebijakan baru untuk membuka lahan-lahan investasi.

Papua memiliki sumber daya alam yang besar dan menyeluruh. Hal ini menjadi sasaran empuk bagi pemilik modal untuk mengalirkan dana, kemudian Indonesia memberikan jaminan keamanan.

Hal ini alasan konkrit perang di Nduga, Intan Jaya, Pegunungan Bintang, Yahukimo, Sorong dsb. Pertentangan pemilik tanah (Tentara Rakyat Papua) dan tentara nasional Indonesia adalah pertikaian mengusir pencuri.

Alternatif perjuangan yang harus diambil adalah memberi batas/ garis jelas antara pekerjaan organisasi revolusioner dan pekerjaan imperialis.

Penyadaran kita adalah memutuskan ketergantungan terhadap kepentingan penjajahan dan imperialis.


Partai revolusioner yang bekerja untuk pembangunan institusi organisasi politik, pendidikan, kesehatan, dan hukum. Pekerjaan ini dibutuhkan ideologi politik yang berdasarkan pada materialisme dialektika dan histori. Analisis marxisme menjadi penting untuk melakukan praktik kerja partai revolusioner. Revolusi 1919, Uni Soviet membuktikan analisa yang tajam dapat meruntuhkan kepentingan Imperialisme kuno. Analisis ini sangat dibutuhkan bagi rakyat Indonesia dan Papua untuk menghancurkan kepentingan Imperialisme modern dan kolonialisme Indonesia di Papua.


1.Lihat: https://www.marxists.org/history/etol/newspape/socialistvoice/marx19.html. Diakses 20 Mei 2023.



 

Post a Comment

0Comments
Post a Comment (0)